Tampilkan postingan dengan label By : Sarry Shadhy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label By : Sarry Shadhy. Tampilkan semua postingan

Selasa, 10 Januari 2012

Kerusakan Ekosistem Mangrove dan Penyebabnya

 Kerusakan sumberdaya pesisir telah mencapai tingkat yang mengkuatirkan, terutama wilayah pesisir yang kegiatan pembangunannya pesat. Kerusakan sumberdaya pesisir tersebut umumnya disebabakan oleh banyak faktor antara lain  Eksploitasi lebih,  Pencemaran, Penggunanan teknologi yang tidak ramah lingkungan dan  Abrasi pantai dan sedimentasi.
Kerusakan ekosistem pesisir tersebut berimplikasi langsung terhadap penurunan kualitas habitat perikanan dan mengurangi stok ikan untuk berkembang serta mengurangi fungsi estetika lingkungan pesisir. Kerusakan fisik lingkungan pesisir ini dipicu oleh faktor-faktor sosial-ekonomi, khususnya masalah pertumbuhan penduduk dan kemiskinan. Masalah sosial ini perlu menjadi perhatian karena adanya keterkaitan yang erat antara pertumbuhan penduduk, kemiskinan dan laju ekspoloitasi sumberdaya perikanan. Langkanya pendapatan alternative diluar pemanfaatan sumberdaya perikanan sering menimbulkan dependensi yang berlebihan terhadap sumberdaya tersebut.
Salah satu ekosisitem yang mengalami perubahan yakni ekosistem mangrove. Ekosistem hutan mangrove merupakan sumberdaya alami kaya akan fungsi dan manfaat, salah satunya sebagai peredam dan pelindung dari gempuran gelombang yang timbul. Namun karena ulah manusia yang berbuat kerusakan di muka bumi ini, hutan mangrove yang seharusnya dapat diambil manfaatnya oleh manusia, berubah menjadi rusak. Baik itu disebabkan eksploitasi hutan mangrove menjadi lahan komersial atau kerusakan karena pencemaran, sehingga kelestariannya tidak terjaga lagi.
Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut,tumbuhan yang hidup diantara laut dan daratan. Sehingga hutan mangrove dinamakan juga hutan pasang. Hutan mangrove dapat tumbuh pada pantai karang, yaitu pada karang koral yang mati yang diatasnya ditumbuhi selapis tipis pasir atau ditumbuhi lumpur atau pantai berlumpur. Hutan mangrove terjadi di daerah pantai yang terus menerus atau berurutan terendam dalam air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut, tanahnya terdiri atas lumpur dan pasir. Secara harfiah, luasan hutan mangrove ini hanya sekitar 3 % dari luas seluruh kawasan hutan dan 25 % dari seluruh hutan mangrove dunia. Namun, dilihat dari perannya, kawasan vegetasi ini pantas diperhitungkan.
Berikut beberapa jenis kerusakan hutan mangrove;
1.      Kerusakan  secara fisik dan kimia
Kegiatan yang memberikan sumbangan terbesar terhadap kerusakan mangrove di Indonesia adalah pengambilan kayu untuk keperluan komersial serta peralihan peruntukkan untuk tambah dan pertanian. Sedang kematian secara alami tidak memberikan data signifikan yang patut dicurigai sebagai penyebab kerusakan hutan mangrove.
  Sebab- sebab dan akibat perusakan mangrove yang terjadi secara fisik dan kimia akan diuraikan berikut ini :
ü  Penambangan mineral
Penambangan mineral mineral, telah berkembang di kawasan pesisir. Penambangan dalam ekosistem mangrove mengakibatkan kerusakan total, sedangkan penambangan di daerah sekitarnya dapat menimbulkan berbagai macam efek yang merusak. Efek yang paling mencolok adalah pengendapan bahan-bahan yang dibawa air permukaan ked an dalam mangrove.
  Pengendapan yang berlebihan akan merusak mangrove karena terjadinya penghambatan pertukaran air, hara dan udara dalam substrat dan air diatasnya. Bila proses pertukaran ini tidak berlangsung, kematian mangrove akan terjadi dalam waktu singkat. Terhentinyaa sebagian proses pertukaran menimbulkan tekanan pada mangrove, yang terlihat pada penurunan produktifitas dan kemampuan. Selanjutnya jaringan makanan yang berlandaskan pada adanya detritus di mangrove terganggu pula dan secara keseluruhan dapat menurunkan pula produktivitas ikan.

ü  Pembelokan aliran air tawar
Suatu pengertian yang salah bila dikatakan bahwa tumbuhan mangrove untuk hidupnya mutlak memerlukan air asin. Pada kenyataannya perkembangan mangrove yang baik terjadi di daerah yang mempunyai masukan air tawar yang cukup. Di daerah beriklim musiman masukan air tawar ke mangrove juga musiman. Tetapi justru di daerah seperti ini kerluan akan air tawar bagi manusia pun besar sekali.. pengambil keputusan sering melihat dalam lingkungan seperti ini suatu hal yang mubazir membiarkan air tawar masuk ke laut, sehingga tidak heran bila berusaha untuk memanfaatkan air tawar ini untuk keperluan di daerah darat.

ü  Eksploitasi Hutan
Eksploitasi hutan mangrove secara besar- besaran dilakukan untuk keperluan kayu, tatal dan bubur kayu. Biasanya eksplotasi seperti itu dilakukan dengan tebang habis. Di daerah tebang habis permudaan alam umumnya tidak berjalan dengan baik sehingga mengakibatkan penurunan nilai hutan karena pohon- pohon untuk panen berikutnya berupa pohon- pohon dengan kualitas rendah. Kegiatan eksploitasi perlu dilakukan secara hati- hati guna memperkecil kerusakan yang mungkin terjadi, khususnya untuk menjamin kelangsungan mata rantai ekologi adalahekosistem mangrove sehingga fungsinya sebagai sumber keanekaragaman hayati dan stabilisasi lingkungan dapat dipertahankan.
Dalam melaksanakan eksploitasi hutan secara besar- besaran dilakukan dengan menggunakan alat transportasi dan alat tebang yang modern. Sehingga membutuhkan fasilitas dan infrastruktur sebagai pendukungnya. Pengadaan fasilitas dan akses ke lokasitersebut juga meninggalkan kerusakan tersendiri terhadap hutan mangrove. Masalah lain yang sering timbul adalah sisa- sisa hasil tebangan tidak dapat segera terdaur ulang dengan proses penguraian. Karena banyaknya sisa penebangan yang menumpuk sehingga proses penguraian berjalan dengan lambat. Sisa penebangan yang besar- besar dengan adanya arus pasang surut juga akan terbawa kemana-mana dan dapat menimbulkan masalah baru.

 Gambar. Kondisi ekosistem Mangrove di Pesisir Kelapa Lima Kota Kupang- NTT yang terlihat kering dan mulai rusak

ü  Konversi Lahan
Hutan rawa dalam lingkungan yang asin dan anaerob di daerah pesisir selalu dianggap daerah yang marginal atau sama sekali tidak cocok untuk pertanian dan akuakultur. Namun karena kebutuhan lahan pertanian dan perikanan yang semakin meningkat maka hutan mangrove dianggap sebagai lahan alternative.
Reklamasi seperti itu telah memusnahkan ekosistem mangrove dan juga mengakibatkan efek- efek yang negative terhadap perikanan di perairan pantai sekitarnya. Selain itu kehadiran saluran- saluran drainase mengubah system hidrologi air tawar di daerah mangrove yang masi utuh yang terletak kea rah laut dan hal ini mengakibatkan dampak negatif.
Hutan mangrove di Pulau Jawa, pada umumnya sejak tahun 1950 sebagian besar sudah rusak disebabkan pencurian kayu dan dijadikan pertambakan. Tambak dalam skala kecil tidak terlalu banyak mempengaruhi ekosistem mangrove dan ekosistem di sekitarnya, tetapi lain halnya dengan tambak dalam skala besar. Konversi mangrove yang luas menjadi tambak dapat mengakibatkan penurunan produksi perikanan di perairan sekitarnya.
Penggunaan lahan pasang surut untuk pertambakkan terjadi di hamper seluruh Indonesia, namun sekitar 94 % dari 225.000 ha areal pertambakan ada di Propinsi Aceh, Jawa Barat, jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Penyebarannya 52% terdapat di Jawa, 30 % di Sulawesi, 15 % di Sumatra, 1% di Kalimantan dan 0,1%di Maluku dan Irian Jaya. Dengan data luasan yang ada berarti hilangnya areal mangrove yang disebabkan pembukaan tambk sebesar 22%.

ü  Tumpahan Minyak
Tumpahan minyak bumi dan hasil- hasil olahannya dengan kapal laut semakin meningkat. Kebocoran, tumpahan dan pembuangan bahan tersebut ke laut sudah sering terjadi. Di berbagai tempat, jalur- jalur angkutan ini berbatasan dengan kawasan mangrove (misalnya selat Malaka) dan kebocoran setra pembuangan minyak dengan sengaja telah menunjukkan dampak negative yang nyata terhadap mangrove.
Efek kehadiran minyak di mangrove dapat dibedakan dalam dua kategori. Kategori pertama adalah efek laut yang akut, segera terlihat dan berkaitan dengan pelaburan oleh minyak pada permukaan tumbuhan ( pepagan, akar tunjang, akar napas ) yang mempunyai fungsi dalam pertukaran udara. Dalam kondisi pelaburan oleh minyak yang sangat kuat, tumbuhan mangrove dapat mati dalam waktu 72 jam. Pengguguran daun dan kematian pohon- pohon mangrove di tempat –tempat yang paling berpengaruh terjadi 4- 5 minggu. Kategori kedua berkaitan dengan peracunan kronik dalam jangka panjang tumbuhan mangrove dan fauna yang bersangkutan oleh komponen racun yang terkandung dalam minyak.

ü  Pembuangan Limbah
Kegiatan pertanian, agro- industri, industry kimia dan rumah tangga menghasilkan limbah dalam jumlah yang beraneka dan kemudian dibuang ke sungai atau pantai. Limbah cair terlarut atau membentuk suspensi dalam air. Sebagian limbah cair ini berupa bahan anorganik yang juga terdapat di alam, tetapi kehadiran dalam jumlah berlebihan dalam lingkungan akuatik menyebabkan bahan itu tidak semuanya dapat didaur ulang secara alami.
Dalam banyak kasus, pestisida dan antibiotic juga kerap kali digunakan, bahkan untuk pengolahan tambak tradisional.


 Gambar. Kondisi tanaman mangrove yang telah rusak dan dipenuhi sampah
             domestik dari masyrakat sekitar pesisir Kelapa Lima Kota Kupang- NTT

ü  Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan mangrove yang pernah terjadi di lahan Pesisir Timur Sembilang pada tahun 1980 – 1990an berhubungan dengan pembukaan lahan yang luas ( untuk perkebunan dan transmigrasi) dan oleh penduduk setempat. Sedangkan kebakaran yang terjadi pada tahun 1997 disebabkan oleh kegiatan penebangan liar, nelayan dan pengembangan kawasan transmigrasi ( Dennis et al, 2000).
  
2.      Kerusakan Biologi
Kerusakan yang ditimbulkan karena factor biologi adalah serangan hama. Hama pada tanaman mangrove yang ditemukan di beberapa tempat secara singkat dapay dijelaskan sebagai berikut :
ü   Ulat ( Lepidoptera )
a.       Ulat kantong Acanthopsyche sp. ( Lepidoptera, psychidae) menyerang tanaman Bruguierai spp ( tancang) di Cilacap, Rhizophora spp di Purwakarta dan Rhizophora mucronata di Pemalang. Bagian tanaman yang diserang ulat kantong ini adalah bagian daunnya. Daging daun merupakan bagian yang dimakan, urat- urat dan tulang daun tetap utuh. Apabila sebagian besar daging daun habis dimakan, daun akan kering. Tanaman muda yang sebagian besar daun- daun dan kuncup ujung diserang ulat berakibat kematiannya.
b.      Ulat bulu (Lepidoptera) menyerang tanaman Rhizophora spp di Pemalang, Brebes, Purwakarta. hama ini hamper tiap tahun menyerang tanaman bakau muda yaitu ulat bulu dan sebangsa ulat kantong. Ulat memakan daun sejak menetas sampai menjelang kepompong. Tanaman bakau yang daunnya habis dimakan ulat pada lahan kondisi mongering umumnya mati. Meningkatnya populasi ulat diperkirakan karena langka predator. Usaha penanggulangan pada daun bakau yang diserang dengan menggunakan tangan dan dikeprak, namun karena populasinya tinggi dicoba dengan insektisida yang sangat terbatas dan diatur pelaksanaannya disesuaikan dengan tata waktu kegiatan empang parit.
c.       Ulat pucuk tunas Capua endoeypa ( Lepidoptera) menyerang tanaman Rhizopara mucronata di Bali. Ulat yang merupakan larva didalam tunas bibit dan memakan tunas tersebut sebelum daun terbuka. Meskipun bibit tidak akan mati, tetapi akan terhenti atau menjadi lambat pertumbuhan sehingga akan menurun kualitasnya. Adanya serangan ini ditandai oleh adanya telur maupun lubang- lubang kecil pada pucuk tunas bibit. Pengendaliannya dengan cara membuka tunas yang ditandai adanya lubang- lubang kecil, kemudian ulat diambil dan dibunuh.
d.      Ulat daun Dasyehira sp,memakan daun semai Avicenmia marma di Bali. Ulat dapat diatasi dengan memasang jaring plastik diatas bedeng, setelah jaring dibuka, sebaiknya segera diperiksa dan bila dijumpai segera dibunuh. Bila terjadi kerusakan serius bisa disemprot dengan insektisida atau dipindahkan ke bedeng pasang surut.

ü  Kutu sisik chionapsis sp ( hemiptera, diaspididae)
Hama ini dilaporkan menyerang tanaman reboisasi dari jenis Rhizhopora di Bali tahun 1995 dan kutu sisik berbentuk bulat telur ujungnya membesar yang dilindungi oleh perisai yang lunak. Serangan kutu sisik ini akan menyebabkan daun   menguning dan akhirnya kering. Cara mengendalikan kutu sisik dari hasil penelitian dengan menggunakan fluorbac FC dengan bahan aktif bacilius turingiensisi  dan asodrin 15 wsc, rata- rata serangan hama menurun bahkan sebagian pohon tampak pulih dan berangsur- angsur sehat.
ü  Belalang
Belalang sering menyerang tanaman mangrove dengan memakan daunnya terutama yang masih muda. Penanganannya belalang diambil atau bila jumlahnya banyak  dengan menggunakan insektisida. Namun penggunaan insektisida tidak dianjurkan.
ü  Laba- laba
Laba-laba hidup/ bersarang pada tanaman bakau yang kecil dan besar, bambu pancang penguat tanggul, pemakan diantara rekahan sawah dan gulma serta gubug- gubug pantai. Hama laba- laba menyerang tanaman bakau pada bulan kering, baik yang muda maupun tua. Pada tanaman muda laba-laba dapat mematikan tanaman karena tajuk tanaman seluruhnya dibalut rapat oleh jaring laba-laba. Tajuk yang terbungkus dalam waktu lama akan menyebabkan tanaman bakau kering dan mati. Serangan akan lebih hebat jika lingkungan terbuka tanpa tanaman lain.
Usaha penanggulangan dengan cara membuikan tempat pemijahan laba- laba berupa vegetasi pada galengan empang parit, bamboo perangkap sekitar empang parit diikuti cara mekanis.
ü  Ketam
Ketam (Sesarma spp) menyerang buah / benih Brugmera gymnorrhriza dan Rhizophora spp di Cilacap. Hama ini menyerang pada benih bakau yang masi segar karena mengandung protein karbohidrat ( zat gula). Untuk mengurangi yaitu dengan menurunkan kadar gula benih disimpan selama 1 minggu atau membuat pagar kecil sekitar benih dengan daun paku- pakuan atau menggunakan bumbung bambu.
ü  Mamalia
Mamalia termasuk hama yang dapat merusak tanaman mangrove diantaranya kera, kerbau, sapi, dan kambing. Binatang ini akan memakan daun yang masih muda hingga habis dan akhirnya tumbuhan mangrove akan mati. Untuk menanggulangi hewan tersebut harus dihalau dan jangan dilepas untuk merumput di dekat tanaman mangrove yang baru tanam. 




Daftar Pustaka :

Arifin, Bustanul. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Alam Indonesia. Erlangga : Jakarta.
Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumber Daya  Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka
            Utama : Jakarta.
Keraf, Sony. 2010. Etika Lingkungan Hidup.  Penerbit Buku Kompas  : Jakarta.
Saparinto, Cahyo. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Dahara Prize : Semarang.

Jumat, 02 September 2011

Kearifan Lokal Masyarakat di Kabupaten Alor


Soto (2006) memahami istilah "pengetahuan tradisional" atau "kearifan lokal" sebagai "pengetahuan yang didapatkan melalui pengalaman hidup di suatu tempat tertentu terkait hubungan manusia dengan lingkungannya sebagai suatu pengetahuan 'ekologis' dalam arti luas." Pengertian "tradisional" dalam konteks ini secara umum merujuk pada suatu badan pengetahuan, praktik, dan kepercayaan yang ditularkan secara kultural antar-generasi. Pengetahuan semacam ini merupakan produk kesinambungan historis pemanfaatan sumberdaya alam di suatu tempat tertentu.
Kearifan Lokal dapat secara luas didefinisikan sebagai pengetahuan masyarakat (lokal) adat yang terakumulasi selama beberapa generasi, yang hidup dalam lingkungan tertentu. Definisi ini mencakup semua bentuk pengetahuan, teknologi, keterampilan teknis (know-how skills), praktek dan keyakinan, yang memungkinkan masyarakat untuk mencapai kehidupan yang stabil di lingkungan mereka.
 Pada tahun 2002, Ansgerius Takalapeta, Bupati Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT)  mencanangkan Hutan Wisata Nostalgia di wilayah Kecamatan Kalabahi yang luasnya 10 hektar. Lahan ini disediakan pemerintah daerah, termasuk bibit tanamannya, seperti mangga, jambu mete, cengkih, cendana, gaharu, kelapa, jati, mangga, pisang, dan mahoni. Hutan ini sebagai contoh agar masyarakat pun rajin menanam.
       Hutan Wisata Nostalgia ini juga disesuaikan dengan kearifan lokal masyarakat Alor, yakni sebagai hutan pamali yang tidak boleh diganggu. Jika masyarakat menebang pohon di hutan itu, akan terjadi bencana alam atau arwah nenek moyang yang mendiami hutan tersebut marah dan mengganggu penghuni rumah.
 Masyarakat Alor menyebut hutan itu mamar, artinya areal sekitar sumber mata air yang tak boleh diganggu. Bahkan, masyarakat berusaha menanam dan merawat hutan tersebut karena terbukti menghasilkan sumber air untuk kehidupan.
  Areal hutan itu tidak hanya dimanfaatkan untuk menanam aneka jenis pohon, tetapi juga digunakan sebagai tempat untuk penangkaran rusa (Cervus timorensis). Jenis hewan ini terancam punah karena maraknya perburuan dan pembukaan lahan pertanian..
         Agar masyarakat tak lagi memburu hewan, pemerintah setempat  berusaha meyakinkan mereka bahwa binatang peliharaan pun pada mulanya liar. Tetapi, setelah dipelihara, hewan menjadi jinak.
Masyarakat juga diajak menangkar rusa di lahan mereka sendiri, selain di areal Hutan Wisata Nostalgia. Sebagai imbalan, mereka yang berhasil menangkar lebih dari tiga ekor hewan diberi penghargaan Rp 250.000.

Kearifan lingkungan atau kearifan lokal masyarakat (local wisdom) sudah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman pra-sejarah hingga saat ini, kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat (Wietoler, 2007), yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun, secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu. Dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan oleh adanya kemajuan teknologi membuat orang lupa akan pentingnya tradisi atau kebudayaan masyarakat dalam mengelola lingkungan, seringkali budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan di abad sekarang ini, sehingga perencanaan pembangunan seringkali tidak melibatkan masyarakat, seperti yang sudah dijalankan pemerintah di Kabupaten Alor ini yang banyak melibatkan masyrakat dalam hal pelestarian lingkungan karena erat dengan kearifan lokal di daerah setempat.

Senin, 13 Desember 2010

Deskripsi Umum Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

Tanaman jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet dan ubi kayu, nama latinnya adalah Jatropha curcas L., tanaman ini berupa perdu dengan tinggi 1-7 m dan bercabang tidak teratur. Batangnya berkayu, silindris, dan bila terluka mengeluarkan getah.
             Jarak pagar merupakan salah satu tanaman potensial penghasil biodiesel. Selama ini, tanaman jarak pagar hanya ditanam sebagai pagar dan belum diusahakan atau dibudidayakan secara khusus. Tanaman jarak pagar menghasilkan biji yang memiliki kandungan minyak cukup tinggi, yaitu sekitar 35-45 %. Minyak yang dihasilkan dari jarak pagar sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif. Sementara hidrokarbon yang terkandung dalam minyak jarak pagar adalah 16-18 atom karbon per molekul sehingga viskositas minyak jarak lebih tinggi (lebih kental) dan daya pembakarannya sebagai bahan bakar masih rendah.
            Biodiesel dapat digunakan, baik secara murni maupun dicampur dengn petro diesel tanpa menyebabkan perubahan pada mesin kendaraan. Penggunaan biodiesel sebagai sumber energi semakin menuntut untuk direalisasikan karena merupakan salah satu solusi dalam menghadapi kelangkaan energi fosil pada masa yang akan datang.
            Bila dibandingkan dengan bahan bakar  diesel/solar, biodiesel bersifat lebih ramah lingkungan, dapat diperbaharui (renewable), dapat terurai (biodegradable), memiliki sifat pelumasan terhadap piston mesin karena termasuk kelompok minyak tidak mengering (non-drying oil), mampu mengeleminasi efek rumah kaca, dan kontinuitas ketersediaan bahan baku terjamin. Biodiesel bersifat ramah lingkungan karena menghasilkan emisi gas buang yang jauh lebih baik dibandingkan diesel/solar, yaitu bebas sulfur, bilangan asap rendah, dan angka setana lebih tinggi dari 60 sehingga efisiensi pembakarannya lebih baik, terbakar sempurna dan tidak menghasilkan racun (nontoxic).

Aspek Budidaya dan Pasca Panen Jarak Pagar
A.    Budidaya Jarak Pagar
Budidaya diartikan sebagai suatu usaha mengelola tanaman mulai dari persiapan areal tanam/lahan dan bibit sampai pada pemeliharaan tanaman  ( Heddy,dkk 1994 ).Berikut adalah hal- hal yang harus diperhatikan dalam budidaya jarak pagar.
a.      Syarat Tumbuh
         Jarak pagar tumbuh di daratan rendah sampai ketinggian sekitar 500 m dpl. Curah hujan yang sesuai adalah 625 mm/ tahun. Namun tanaman ini dapat tumbuh pada daerah dengan curah hujan antara 300-2.380 mm/tahun. Kisaran suhu untuk bertanam jarak pagar adalah 20-26°C. Pada  daerah dengan suhu terlalu tinggi (diatas 35°C ) atau terlalu rendah  (dibawah 15°C ) akan menghambat pertumbuhan serta mengurangu kadar minyak dalam biji dan mengubah komposisinya. Jarak pagar dapat tumbuh pada berbagai ragam tekstur dan jenis tanah, baik tanah berbatu, tanah    berpasir maupun tanah berlempung atau tanah liat. Di samping itu, jarak     pagar juga dapat beradaptasi pada tanah yang kurang subur atau bergaram, memilki drainase baik, tidak tergenang, dan pH 5,0-6,5 (Hambali,dkk  2006).
b.      Prapanen
1.      Pembibitan
      Pembibitan dapat dilakukan di polibag atau bedengan. Setiap polibag diisi media tanam berupa tanah lapisan atas yang dicampur pupuk kandang.  ampuran arang sekam, serbuk kelapa, dan pupuk majemuk dapat dijadikan sebagai media tanam. Tempat pembibitan diberi naungan    atau atap dari daun   kelapa, jerami atau paranet. Lama pembibitan    sekitar 2-3 bulan. Kegiatan yang dilakukan selama pembibitan adalah  penyiraman, penyiangan dan seleksi. Penyiraman dilakukan setiap 2 kali     sehari pagi dan sore. Penyiangan dilakukan saat bibit berumur sekitar 1,5 bulan. Caranya adalah semua gulma yang ada didalam maupun       disekitar polibag dibuang. Penyiangan sebaiknya dilakukan secara manual. Seleksi bibit dilakukan dengan memilih bibit yang sehat, tegar, dan baik pertumbuhannya.
2.      Persiapan Lahan
      Kegiatan persiapan lahan meliputi pembukaan lahan (land clearing), pengajiran dan pembuatan lubang tanam. Lahan yang akan ditanami   dibersihkan dari semak belukar, terutama di sekitar tempat penanaman.  Pengajiran dilakukan dengan menancapkan ajir (dari bambu atau batang kayu) dengan jarak tanam disesuaikan dengan rencana populasi tanaman     diharapkan. Adapun alternatif penanaman dengan jarak tanam dan  populasi pohon adalah sebagai berikut :
o   3 m x 3m (populasi 1.100 pohon/ha)
o   2 m x 3 m (populasi 1.600 pohon/ha)
o   2 m x 2 m (populasi 2.500 pohon/ha)
o   1,5 m x 2 m (populasi 3.300 pohon/ha)
Pada areal yang miring sebaiknya digunakan sistem kontur dengan jarak dalam barisan 1,5 m.
Ukuran lubang tanam tergantung dari bahan tanam yang digunakan. Bila bahan tanam berupa bibit dalam polibag, lubang tanam dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x40 cm. Sementara bila bahan tanam berupa stek, bibit bisa langsung ditanam kedalam lubang tanam. Lubang tanam dibuat dengan tugal yang terbuat dari kayu bulat berdiameter 20 cm, ujung bawah tugal diruncingkan.
3.      Penanaman & Penyulaman
      Bahan tanaman yang akan ditanam dapat berupa bibit dari biji/benih,     setek, okulasi, dan penyambungan. Bibit tanaman dari biji dapat ditanam    langsung ke lapang setelah berumur 2-3 bulan dengan kriteria jumlah daun  lebih dari 3 helai, tinggi bibit lebih dari 30 cm, dan sehat. Sementara  bibit asal stek, okulasi, atau penyambungan dapat dipindahkan ke lapang    setelah tumbuh tunas dan daun lebih dari 3 helai.
      Penanaman dilakukan pada awal atau selama musim penghujan sehingga    kebutuhan air bagi tanaman cukup tersedia. Bibit yang ditanam dipilih  yang sehat dan cukup kuat. Saat penanaman, tanah disekitar batang   tanaman dipadatkan dan permukaaannya dibuat agak cembung. Penanaman dapat juga dilakukan secara langsung di lapangan dengan        menggunakan setek cabang atau batang.
      Dalam pembudidayaan tanaman jarak dapat diterapkan sistem tumpang      sari dengan tanaman lain, seperti jagung, cabai, kacang tanah dan kedelai   sehingga selain mengurangi resiko serangan hama penyakit juga diperoleh difersifikasi hasil. Jarak tanam yang lebar menyebabkan tanaman dapat berbuah lebih banyak, paling tidak dalam 2 tahun.          Sementara pada jarak tanam yang lebih rapat harus dilakukan penjarangan. Kegiatan penyulaman dimaksudkan untuk menanam kembali tanaman yang mati, tidak tumbuh, atau areal kosong karena terlewat tidak  tertanam. Penyulaman sebaiknya dilakukan pada umur 6 bulan dengan   menggunakan bibit yang sama pada waktu penanaman awal.
4.      Penyiangan
      Untuk menjaga pertumbuhan tanaman jarak agar tumbuh cepat dan  berproduksi optimal maka perlu dilakukan penyiangan sedini mungkin, yaitu dimulai pada saat tanaman jarak berumur 3-4 minggu. Penyiangan  bertujuan untuk membersihkan lahan dari gulma ataupun tanaman lain yang dapat merusak atau mengganggu pertumbuhan tanaman jarak.             Gulma yang tumbuh di sekitar tanaman jarak dapat menjadi pesaing  dalam penyerapan nutrisi. Pengendalian gulma dapat dilakukan baik  secara manual atau kimia. Pengendalian secara manual dilakukan dengan cara membabat gulma menggunakan alat cangkul atau koret. Sementara  pengendalian secara kimia menggunakan herbisida.
5.      Pemupukan
      Pemberian pupuk bertujuan untuk menambah ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Jenis dan dosis pupuk yang diperlukan disesuaikan dengan  tingkat kesuburan tanah setempat. Belum ada rekomendasi khusu untuk  tanaman jarak pagar.
      Tanaman memerlukan pupuk organik/kompos/kandang, N,P, K, dan Mg  untuk mendapatkan hasill yang maksimal. cara pemberian pupuk dilakukan sebagai berikut :
o   Buat parit kecil mengelilingi tanaman sejauh ¾ tajuk dengan kedalaman sekitar 3-5 cm.
o   taburkan atau masukkan pupuk kedalam parit.
o   Tutup lubang parit dengan tanah dan dipadatkan.
6.      Pemangkasan & Penjarangan
   Jarak pagar yang ditanam sebagai tanaman pagar maupun tanaman perkebunan perlu dipangkas agar percabangan tumbuh maksimal. Pemangkasan bertujuan untuk meningkatkan jumlah cabang produktif. Semakin banyak cabang pada tanaman jarak maka biji yang dihasilkan  semakin banyak pula.
pemangkasan dapat dilakukan saat tanaman berumur 25 hari. Batang/cabang yang telah cukup berkayu dipangkas dengan cara pucuk tanaman dipotong setinggi 20-30 cm dari tanah (pangkas bentuk). Cabang ynag dipangkas setidaknya paling sedikit menyisakan dua helai daun.
Penjarangan juga perlu dilakukan untuk mengurangi terjadinya kompetisi diantara tanaman. Penjarangan terutama dilakukan pada tanaman yang ditanam agak rapat, yaitu dengan cara membuang salah satu tanaman disekitarnya.
7.      Pengendalian Hama & Penyakit
      Serangan hama dan penyakit yang terjadi pada pertanaman dilapangan   merupakan salah satu faktor pembatas untuk mendapatkan produksi yang  optimal. Masalah hama dan penyakit pada pertanaman jarak pagar selama ini dilakukan sebagai tanaman tumpang sari atau tanaman pagar  umumnya hanya sedikit atau hampir tidak ada serangan yang berarti.  Kalau pun ada, serangan itu kurang ,mendapat perhatian serius. Namun, penanaman jarak pagar pada skala luas dengan sistem monokultur sangat berpotensi munculnya hama dan   penyakit. Apabila        tidak ditangani dengan baik, akan mengganggu pertumbuhan tanaman yang pada akhirnya menurunkan produksi buah. Untuk itu, perlu dilakukan dengan beberapa strategi, seperti pengendalian mekanik, teknik kultur, biologi dan kimia.
c.       Pemanenan Buah
         Panen buah merupakan kegiatan penting dalam agribisnis tanaman jarak pagar yang diperoleh kualitas hasil yang baik. Pemanenan buah dilakukan setelah biji masak, yaitu sekitar 90 hari setelah terjadi pembungaan. Biji masak dicirikan dengan kulit buah berubah warna dari hijau mudamenjadi kuning kecoklatan atau hitam dan mengering. Ciri lainnya yaitu kulit buah terbuka sebagian secar alami . Ketika kulit buah terbuka sebagian secara alami. Ketika kulit buah membuka, berarti biji di badian dalam telah masak. panen yang dilakukan terlalu awal kan menurunkan kandungan minyak. Sementara bila panen terlambat dapat menyebabkan buah pecah sehingga banyak biji yang berjatuhan ke tanah.
      Teknik pemanenan dapat dilakukan dengan mengguncang atau memukul dahan berulang-ulang hingga buah terlepas dari dahan dan jatuh, kemudian dikumpulkan. Namun cara ini kurang efektif. Teknik pengumpulan yang paling baik adalah dengan memetik buah secara langsung dari dahan. Tingkat kemasakan buah menjadi tidak efektif  dan memerlukan biaya tinggi. Oleh karena itu, umumnya panen dilakukan per malai dengan syarat 50 % buah permalai sudah mengering. Pemanenan dilakukan dengan menggunakan pisau tajam. Tangkai malai di bawah buah dipotong. Untuk pohon yang tinggi, pemetikan buah dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa galah, yaitu tongkat panjang yang bagian ujungnya terikat kantong kecil.


d.      Pasca Panen
         Setelah buahnya di panen, pengeringan dilakukan pada buah jarak tersebut dengan cara dijemur  di tempat yang teduh. Penjemuran tidak boleh dilakukan dibawah sinar matahari langsung. Hal ini dikarenakan terpaan sinar matahari langsung berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup biji. Buah jarak dikeringkan hingga semua buah terbuka dengan sendirinya. Setelah buah jarak  terbuka semua, selanjutnya biji dikeluarkan dari cangkang buah dan dibersihkan. Biji jarak kembali dijemur selama 1 hari. Bila kurang kering, biji mudah bercendawan dan cepat rusak. Biji  jarak harus dikeringkan hingga kandungan airnya mencapai    5 -7 %.
         Biji jarak yang telah mencapai kadar air sekitar 7 % sebaiknya segera disimpan. Biji jarak yang telah kering disimpan dalam karung plastik. Penyimpanan dilakukan di gudang yang kering da tidak terkena sinar matahari langsung serta penumpukkan karung tidak bersinggingan dengan lantai. Pada penyimpanan disuhu ruang, kelangsungan hidup biji jarak dapat dipertahankan hingga sekitar satu tahun. Mengingat biji jarak memiliki kandungan minyak yang cukup tinggi maka penyimpanan biji tidak boleh dilakukan dalam waktu lama. Bila memungkinkan, biji jarak yang telah dikeringkan harus segera diolah (Hambali,dkk 2006).
      Oleh karena itu, untuk mengetahui kedudukan ekonomi usahatani dari suatu tanaman adalah sangat penting, karena dapat dijadikan penilaian terhadap keputusan dan kemungkinan pengembangan komoditas tersebut  (Hernanto,1993).