Selasa, 10 Januari 2012

Kerusakan Ekosistem Mangrove dan Penyebabnya

 Kerusakan sumberdaya pesisir telah mencapai tingkat yang mengkuatirkan, terutama wilayah pesisir yang kegiatan pembangunannya pesat. Kerusakan sumberdaya pesisir tersebut umumnya disebabakan oleh banyak faktor antara lain  Eksploitasi lebih,  Pencemaran, Penggunanan teknologi yang tidak ramah lingkungan dan  Abrasi pantai dan sedimentasi.
Kerusakan ekosistem pesisir tersebut berimplikasi langsung terhadap penurunan kualitas habitat perikanan dan mengurangi stok ikan untuk berkembang serta mengurangi fungsi estetika lingkungan pesisir. Kerusakan fisik lingkungan pesisir ini dipicu oleh faktor-faktor sosial-ekonomi, khususnya masalah pertumbuhan penduduk dan kemiskinan. Masalah sosial ini perlu menjadi perhatian karena adanya keterkaitan yang erat antara pertumbuhan penduduk, kemiskinan dan laju ekspoloitasi sumberdaya perikanan. Langkanya pendapatan alternative diluar pemanfaatan sumberdaya perikanan sering menimbulkan dependensi yang berlebihan terhadap sumberdaya tersebut.
Salah satu ekosisitem yang mengalami perubahan yakni ekosistem mangrove. Ekosistem hutan mangrove merupakan sumberdaya alami kaya akan fungsi dan manfaat, salah satunya sebagai peredam dan pelindung dari gempuran gelombang yang timbul. Namun karena ulah manusia yang berbuat kerusakan di muka bumi ini, hutan mangrove yang seharusnya dapat diambil manfaatnya oleh manusia, berubah menjadi rusak. Baik itu disebabkan eksploitasi hutan mangrove menjadi lahan komersial atau kerusakan karena pencemaran, sehingga kelestariannya tidak terjaga lagi.
Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut,tumbuhan yang hidup diantara laut dan daratan. Sehingga hutan mangrove dinamakan juga hutan pasang. Hutan mangrove dapat tumbuh pada pantai karang, yaitu pada karang koral yang mati yang diatasnya ditumbuhi selapis tipis pasir atau ditumbuhi lumpur atau pantai berlumpur. Hutan mangrove terjadi di daerah pantai yang terus menerus atau berurutan terendam dalam air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut, tanahnya terdiri atas lumpur dan pasir. Secara harfiah, luasan hutan mangrove ini hanya sekitar 3 % dari luas seluruh kawasan hutan dan 25 % dari seluruh hutan mangrove dunia. Namun, dilihat dari perannya, kawasan vegetasi ini pantas diperhitungkan.
Berikut beberapa jenis kerusakan hutan mangrove;
1.      Kerusakan  secara fisik dan kimia
Kegiatan yang memberikan sumbangan terbesar terhadap kerusakan mangrove di Indonesia adalah pengambilan kayu untuk keperluan komersial serta peralihan peruntukkan untuk tambah dan pertanian. Sedang kematian secara alami tidak memberikan data signifikan yang patut dicurigai sebagai penyebab kerusakan hutan mangrove.
  Sebab- sebab dan akibat perusakan mangrove yang terjadi secara fisik dan kimia akan diuraikan berikut ini :
ü  Penambangan mineral
Penambangan mineral mineral, telah berkembang di kawasan pesisir. Penambangan dalam ekosistem mangrove mengakibatkan kerusakan total, sedangkan penambangan di daerah sekitarnya dapat menimbulkan berbagai macam efek yang merusak. Efek yang paling mencolok adalah pengendapan bahan-bahan yang dibawa air permukaan ked an dalam mangrove.
  Pengendapan yang berlebihan akan merusak mangrove karena terjadinya penghambatan pertukaran air, hara dan udara dalam substrat dan air diatasnya. Bila proses pertukaran ini tidak berlangsung, kematian mangrove akan terjadi dalam waktu singkat. Terhentinyaa sebagian proses pertukaran menimbulkan tekanan pada mangrove, yang terlihat pada penurunan produktifitas dan kemampuan. Selanjutnya jaringan makanan yang berlandaskan pada adanya detritus di mangrove terganggu pula dan secara keseluruhan dapat menurunkan pula produktivitas ikan.

ü  Pembelokan aliran air tawar
Suatu pengertian yang salah bila dikatakan bahwa tumbuhan mangrove untuk hidupnya mutlak memerlukan air asin. Pada kenyataannya perkembangan mangrove yang baik terjadi di daerah yang mempunyai masukan air tawar yang cukup. Di daerah beriklim musiman masukan air tawar ke mangrove juga musiman. Tetapi justru di daerah seperti ini kerluan akan air tawar bagi manusia pun besar sekali.. pengambil keputusan sering melihat dalam lingkungan seperti ini suatu hal yang mubazir membiarkan air tawar masuk ke laut, sehingga tidak heran bila berusaha untuk memanfaatkan air tawar ini untuk keperluan di daerah darat.

ü  Eksploitasi Hutan
Eksploitasi hutan mangrove secara besar- besaran dilakukan untuk keperluan kayu, tatal dan bubur kayu. Biasanya eksplotasi seperti itu dilakukan dengan tebang habis. Di daerah tebang habis permudaan alam umumnya tidak berjalan dengan baik sehingga mengakibatkan penurunan nilai hutan karena pohon- pohon untuk panen berikutnya berupa pohon- pohon dengan kualitas rendah. Kegiatan eksploitasi perlu dilakukan secara hati- hati guna memperkecil kerusakan yang mungkin terjadi, khususnya untuk menjamin kelangsungan mata rantai ekologi adalahekosistem mangrove sehingga fungsinya sebagai sumber keanekaragaman hayati dan stabilisasi lingkungan dapat dipertahankan.
Dalam melaksanakan eksploitasi hutan secara besar- besaran dilakukan dengan menggunakan alat transportasi dan alat tebang yang modern. Sehingga membutuhkan fasilitas dan infrastruktur sebagai pendukungnya. Pengadaan fasilitas dan akses ke lokasitersebut juga meninggalkan kerusakan tersendiri terhadap hutan mangrove. Masalah lain yang sering timbul adalah sisa- sisa hasil tebangan tidak dapat segera terdaur ulang dengan proses penguraian. Karena banyaknya sisa penebangan yang menumpuk sehingga proses penguraian berjalan dengan lambat. Sisa penebangan yang besar- besar dengan adanya arus pasang surut juga akan terbawa kemana-mana dan dapat menimbulkan masalah baru.

 Gambar. Kondisi ekosistem Mangrove di Pesisir Kelapa Lima Kota Kupang- NTT yang terlihat kering dan mulai rusak

ü  Konversi Lahan
Hutan rawa dalam lingkungan yang asin dan anaerob di daerah pesisir selalu dianggap daerah yang marginal atau sama sekali tidak cocok untuk pertanian dan akuakultur. Namun karena kebutuhan lahan pertanian dan perikanan yang semakin meningkat maka hutan mangrove dianggap sebagai lahan alternative.
Reklamasi seperti itu telah memusnahkan ekosistem mangrove dan juga mengakibatkan efek- efek yang negative terhadap perikanan di perairan pantai sekitarnya. Selain itu kehadiran saluran- saluran drainase mengubah system hidrologi air tawar di daerah mangrove yang masi utuh yang terletak kea rah laut dan hal ini mengakibatkan dampak negatif.
Hutan mangrove di Pulau Jawa, pada umumnya sejak tahun 1950 sebagian besar sudah rusak disebabkan pencurian kayu dan dijadikan pertambakan. Tambak dalam skala kecil tidak terlalu banyak mempengaruhi ekosistem mangrove dan ekosistem di sekitarnya, tetapi lain halnya dengan tambak dalam skala besar. Konversi mangrove yang luas menjadi tambak dapat mengakibatkan penurunan produksi perikanan di perairan sekitarnya.
Penggunaan lahan pasang surut untuk pertambakkan terjadi di hamper seluruh Indonesia, namun sekitar 94 % dari 225.000 ha areal pertambakan ada di Propinsi Aceh, Jawa Barat, jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Penyebarannya 52% terdapat di Jawa, 30 % di Sulawesi, 15 % di Sumatra, 1% di Kalimantan dan 0,1%di Maluku dan Irian Jaya. Dengan data luasan yang ada berarti hilangnya areal mangrove yang disebabkan pembukaan tambk sebesar 22%.

ü  Tumpahan Minyak
Tumpahan minyak bumi dan hasil- hasil olahannya dengan kapal laut semakin meningkat. Kebocoran, tumpahan dan pembuangan bahan tersebut ke laut sudah sering terjadi. Di berbagai tempat, jalur- jalur angkutan ini berbatasan dengan kawasan mangrove (misalnya selat Malaka) dan kebocoran setra pembuangan minyak dengan sengaja telah menunjukkan dampak negative yang nyata terhadap mangrove.
Efek kehadiran minyak di mangrove dapat dibedakan dalam dua kategori. Kategori pertama adalah efek laut yang akut, segera terlihat dan berkaitan dengan pelaburan oleh minyak pada permukaan tumbuhan ( pepagan, akar tunjang, akar napas ) yang mempunyai fungsi dalam pertukaran udara. Dalam kondisi pelaburan oleh minyak yang sangat kuat, tumbuhan mangrove dapat mati dalam waktu 72 jam. Pengguguran daun dan kematian pohon- pohon mangrove di tempat –tempat yang paling berpengaruh terjadi 4- 5 minggu. Kategori kedua berkaitan dengan peracunan kronik dalam jangka panjang tumbuhan mangrove dan fauna yang bersangkutan oleh komponen racun yang terkandung dalam minyak.

ü  Pembuangan Limbah
Kegiatan pertanian, agro- industri, industry kimia dan rumah tangga menghasilkan limbah dalam jumlah yang beraneka dan kemudian dibuang ke sungai atau pantai. Limbah cair terlarut atau membentuk suspensi dalam air. Sebagian limbah cair ini berupa bahan anorganik yang juga terdapat di alam, tetapi kehadiran dalam jumlah berlebihan dalam lingkungan akuatik menyebabkan bahan itu tidak semuanya dapat didaur ulang secara alami.
Dalam banyak kasus, pestisida dan antibiotic juga kerap kali digunakan, bahkan untuk pengolahan tambak tradisional.


 Gambar. Kondisi tanaman mangrove yang telah rusak dan dipenuhi sampah
             domestik dari masyrakat sekitar pesisir Kelapa Lima Kota Kupang- NTT

ü  Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan mangrove yang pernah terjadi di lahan Pesisir Timur Sembilang pada tahun 1980 – 1990an berhubungan dengan pembukaan lahan yang luas ( untuk perkebunan dan transmigrasi) dan oleh penduduk setempat. Sedangkan kebakaran yang terjadi pada tahun 1997 disebabkan oleh kegiatan penebangan liar, nelayan dan pengembangan kawasan transmigrasi ( Dennis et al, 2000).
  
2.      Kerusakan Biologi
Kerusakan yang ditimbulkan karena factor biologi adalah serangan hama. Hama pada tanaman mangrove yang ditemukan di beberapa tempat secara singkat dapay dijelaskan sebagai berikut :
ü   Ulat ( Lepidoptera )
a.       Ulat kantong Acanthopsyche sp. ( Lepidoptera, psychidae) menyerang tanaman Bruguierai spp ( tancang) di Cilacap, Rhizophora spp di Purwakarta dan Rhizophora mucronata di Pemalang. Bagian tanaman yang diserang ulat kantong ini adalah bagian daunnya. Daging daun merupakan bagian yang dimakan, urat- urat dan tulang daun tetap utuh. Apabila sebagian besar daging daun habis dimakan, daun akan kering. Tanaman muda yang sebagian besar daun- daun dan kuncup ujung diserang ulat berakibat kematiannya.
b.      Ulat bulu (Lepidoptera) menyerang tanaman Rhizophora spp di Pemalang, Brebes, Purwakarta. hama ini hamper tiap tahun menyerang tanaman bakau muda yaitu ulat bulu dan sebangsa ulat kantong. Ulat memakan daun sejak menetas sampai menjelang kepompong. Tanaman bakau yang daunnya habis dimakan ulat pada lahan kondisi mongering umumnya mati. Meningkatnya populasi ulat diperkirakan karena langka predator. Usaha penanggulangan pada daun bakau yang diserang dengan menggunakan tangan dan dikeprak, namun karena populasinya tinggi dicoba dengan insektisida yang sangat terbatas dan diatur pelaksanaannya disesuaikan dengan tata waktu kegiatan empang parit.
c.       Ulat pucuk tunas Capua endoeypa ( Lepidoptera) menyerang tanaman Rhizopara mucronata di Bali. Ulat yang merupakan larva didalam tunas bibit dan memakan tunas tersebut sebelum daun terbuka. Meskipun bibit tidak akan mati, tetapi akan terhenti atau menjadi lambat pertumbuhan sehingga akan menurun kualitasnya. Adanya serangan ini ditandai oleh adanya telur maupun lubang- lubang kecil pada pucuk tunas bibit. Pengendaliannya dengan cara membuka tunas yang ditandai adanya lubang- lubang kecil, kemudian ulat diambil dan dibunuh.
d.      Ulat daun Dasyehira sp,memakan daun semai Avicenmia marma di Bali. Ulat dapat diatasi dengan memasang jaring plastik diatas bedeng, setelah jaring dibuka, sebaiknya segera diperiksa dan bila dijumpai segera dibunuh. Bila terjadi kerusakan serius bisa disemprot dengan insektisida atau dipindahkan ke bedeng pasang surut.

ü  Kutu sisik chionapsis sp ( hemiptera, diaspididae)
Hama ini dilaporkan menyerang tanaman reboisasi dari jenis Rhizhopora di Bali tahun 1995 dan kutu sisik berbentuk bulat telur ujungnya membesar yang dilindungi oleh perisai yang lunak. Serangan kutu sisik ini akan menyebabkan daun   menguning dan akhirnya kering. Cara mengendalikan kutu sisik dari hasil penelitian dengan menggunakan fluorbac FC dengan bahan aktif bacilius turingiensisi  dan asodrin 15 wsc, rata- rata serangan hama menurun bahkan sebagian pohon tampak pulih dan berangsur- angsur sehat.
ü  Belalang
Belalang sering menyerang tanaman mangrove dengan memakan daunnya terutama yang masih muda. Penanganannya belalang diambil atau bila jumlahnya banyak  dengan menggunakan insektisida. Namun penggunaan insektisida tidak dianjurkan.
ü  Laba- laba
Laba-laba hidup/ bersarang pada tanaman bakau yang kecil dan besar, bambu pancang penguat tanggul, pemakan diantara rekahan sawah dan gulma serta gubug- gubug pantai. Hama laba- laba menyerang tanaman bakau pada bulan kering, baik yang muda maupun tua. Pada tanaman muda laba-laba dapat mematikan tanaman karena tajuk tanaman seluruhnya dibalut rapat oleh jaring laba-laba. Tajuk yang terbungkus dalam waktu lama akan menyebabkan tanaman bakau kering dan mati. Serangan akan lebih hebat jika lingkungan terbuka tanpa tanaman lain.
Usaha penanggulangan dengan cara membuikan tempat pemijahan laba- laba berupa vegetasi pada galengan empang parit, bamboo perangkap sekitar empang parit diikuti cara mekanis.
ü  Ketam
Ketam (Sesarma spp) menyerang buah / benih Brugmera gymnorrhriza dan Rhizophora spp di Cilacap. Hama ini menyerang pada benih bakau yang masi segar karena mengandung protein karbohidrat ( zat gula). Untuk mengurangi yaitu dengan menurunkan kadar gula benih disimpan selama 1 minggu atau membuat pagar kecil sekitar benih dengan daun paku- pakuan atau menggunakan bumbung bambu.
ü  Mamalia
Mamalia termasuk hama yang dapat merusak tanaman mangrove diantaranya kera, kerbau, sapi, dan kambing. Binatang ini akan memakan daun yang masih muda hingga habis dan akhirnya tumbuhan mangrove akan mati. Untuk menanggulangi hewan tersebut harus dihalau dan jangan dilepas untuk merumput di dekat tanaman mangrove yang baru tanam. 




Daftar Pustaka :

Arifin, Bustanul. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Alam Indonesia. Erlangga : Jakarta.
Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumber Daya  Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka
            Utama : Jakarta.
Keraf, Sony. 2010. Etika Lingkungan Hidup.  Penerbit Buku Kompas  : Jakarta.
Saparinto, Cahyo. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Dahara Prize : Semarang.