Jumat, 02 September 2011

Kearifan Lokal Masyarakat di Kabupaten Alor


Soto (2006) memahami istilah "pengetahuan tradisional" atau "kearifan lokal" sebagai "pengetahuan yang didapatkan melalui pengalaman hidup di suatu tempat tertentu terkait hubungan manusia dengan lingkungannya sebagai suatu pengetahuan 'ekologis' dalam arti luas." Pengertian "tradisional" dalam konteks ini secara umum merujuk pada suatu badan pengetahuan, praktik, dan kepercayaan yang ditularkan secara kultural antar-generasi. Pengetahuan semacam ini merupakan produk kesinambungan historis pemanfaatan sumberdaya alam di suatu tempat tertentu.
Kearifan Lokal dapat secara luas didefinisikan sebagai pengetahuan masyarakat (lokal) adat yang terakumulasi selama beberapa generasi, yang hidup dalam lingkungan tertentu. Definisi ini mencakup semua bentuk pengetahuan, teknologi, keterampilan teknis (know-how skills), praktek dan keyakinan, yang memungkinkan masyarakat untuk mencapai kehidupan yang stabil di lingkungan mereka.
 Pada tahun 2002, Ansgerius Takalapeta, Bupati Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT)  mencanangkan Hutan Wisata Nostalgia di wilayah Kecamatan Kalabahi yang luasnya 10 hektar. Lahan ini disediakan pemerintah daerah, termasuk bibit tanamannya, seperti mangga, jambu mete, cengkih, cendana, gaharu, kelapa, jati, mangga, pisang, dan mahoni. Hutan ini sebagai contoh agar masyarakat pun rajin menanam.
       Hutan Wisata Nostalgia ini juga disesuaikan dengan kearifan lokal masyarakat Alor, yakni sebagai hutan pamali yang tidak boleh diganggu. Jika masyarakat menebang pohon di hutan itu, akan terjadi bencana alam atau arwah nenek moyang yang mendiami hutan tersebut marah dan mengganggu penghuni rumah.
 Masyarakat Alor menyebut hutan itu mamar, artinya areal sekitar sumber mata air yang tak boleh diganggu. Bahkan, masyarakat berusaha menanam dan merawat hutan tersebut karena terbukti menghasilkan sumber air untuk kehidupan.
  Areal hutan itu tidak hanya dimanfaatkan untuk menanam aneka jenis pohon, tetapi juga digunakan sebagai tempat untuk penangkaran rusa (Cervus timorensis). Jenis hewan ini terancam punah karena maraknya perburuan dan pembukaan lahan pertanian..
         Agar masyarakat tak lagi memburu hewan, pemerintah setempat  berusaha meyakinkan mereka bahwa binatang peliharaan pun pada mulanya liar. Tetapi, setelah dipelihara, hewan menjadi jinak.
Masyarakat juga diajak menangkar rusa di lahan mereka sendiri, selain di areal Hutan Wisata Nostalgia. Sebagai imbalan, mereka yang berhasil menangkar lebih dari tiga ekor hewan diberi penghargaan Rp 250.000.

Kearifan lingkungan atau kearifan lokal masyarakat (local wisdom) sudah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman pra-sejarah hingga saat ini, kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat (Wietoler, 2007), yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun, secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu. Dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan oleh adanya kemajuan teknologi membuat orang lupa akan pentingnya tradisi atau kebudayaan masyarakat dalam mengelola lingkungan, seringkali budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan di abad sekarang ini, sehingga perencanaan pembangunan seringkali tidak melibatkan masyarakat, seperti yang sudah dijalankan pemerintah di Kabupaten Alor ini yang banyak melibatkan masyrakat dalam hal pelestarian lingkungan karena erat dengan kearifan lokal di daerah setempat.