Kerusakan ekosistem pesisir tersebut
berimplikasi langsung terhadap penurunan kualitas habitat perikanan dan
mengurangi stok ikan untuk berkembang serta mengurangi fungsi estetika
lingkungan pesisir. Kerusakan fisik lingkungan pesisir ini dipicu oleh
faktor-faktor sosial-ekonomi, khususnya masalah pertumbuhan penduduk dan
kemiskinan. Masalah sosial ini perlu menjadi perhatian karena adanya
keterkaitan yang erat antara pertumbuhan penduduk, kemiskinan dan laju
ekspoloitasi sumberdaya perikanan. Langkanya pendapatan alternative diluar
pemanfaatan sumberdaya perikanan sering menimbulkan dependensi yang berlebihan
terhadap sumberdaya tersebut.
Salah satu ekosisitem yang mengalami
perubahan yakni ekosistem mangrove. Ekosistem hutan mangrove merupakan
sumberdaya alami kaya akan fungsi dan manfaat, salah satunya sebagai peredam
dan pelindung dari gempuran gelombang yang timbul. Namun karena ulah manusia
yang berbuat kerusakan di muka bumi ini, hutan mangrove yang seharusnya dapat
diambil manfaatnya oleh manusia, berubah menjadi rusak. Baik itu disebabkan
eksploitasi hutan mangrove menjadi lahan komersial atau kerusakan karena
pencemaran, sehingga kelestariannya tidak terjaga lagi.
Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara
garis pasang surut,tumbuhan yang hidup diantara laut dan daratan. Sehingga
hutan mangrove dinamakan juga hutan pasang. Hutan mangrove dapat tumbuh pada
pantai karang, yaitu pada karang koral yang mati yang diatasnya ditumbuhi
selapis tipis pasir atau ditumbuhi lumpur atau pantai berlumpur. Hutan mangrove
terjadi di daerah pantai yang terus menerus atau berurutan terendam dalam air
laut dan dipengaruhi oleh pasang surut, tanahnya terdiri atas lumpur dan pasir.
Secara harfiah, luasan hutan mangrove ini hanya sekitar 3 % dari luas seluruh
kawasan hutan dan 25 % dari seluruh hutan mangrove dunia. Namun, dilihat dari
perannya, kawasan vegetasi ini pantas diperhitungkan.
Berikut
beberapa jenis kerusakan hutan mangrove;
1.
Kerusakan secara fisik dan kimia
Kegiatan yang
memberikan sumbangan terbesar terhadap kerusakan mangrove di Indonesia adalah
pengambilan kayu untuk keperluan komersial serta peralihan peruntukkan untuk
tambah dan pertanian. Sedang kematian secara alami tidak memberikan data
signifikan yang patut dicurigai sebagai penyebab kerusakan hutan mangrove.
Sebab- sebab dan akibat perusakan mangrove yang terjadi secara
fisik dan kimia akan diuraikan berikut ini :
ü Penambangan
mineral
Penambangan mineral
mineral, telah berkembang di kawasan pesisir. Penambangan dalam ekosistem
mangrove mengakibatkan kerusakan total, sedangkan penambangan di daerah
sekitarnya dapat menimbulkan berbagai macam efek yang merusak. Efek yang paling
mencolok adalah pengendapan bahan-bahan yang dibawa air permukaan ked an dalam
mangrove.
Pengendapan yang berlebihan akan merusak mangrove karena terjadinya
penghambatan pertukaran air, hara dan udara dalam substrat dan air diatasnya.
Bila proses pertukaran ini tidak berlangsung, kematian mangrove akan terjadi
dalam waktu singkat. Terhentinyaa sebagian proses pertukaran menimbulkan
tekanan pada mangrove, yang terlihat pada penurunan produktifitas dan
kemampuan. Selanjutnya jaringan makanan yang berlandaskan pada adanya detritus
di mangrove terganggu pula dan secara keseluruhan dapat menurunkan pula
produktivitas ikan.
ü Pembelokan
aliran air tawar
Suatu pengertian yang
salah bila dikatakan bahwa tumbuhan mangrove untuk hidupnya mutlak memerlukan
air asin. Pada kenyataannya perkembangan mangrove yang baik terjadi di daerah
yang mempunyai masukan air tawar yang cukup. Di daerah beriklim musiman masukan
air tawar ke mangrove juga musiman. Tetapi justru di daerah seperti ini kerluan
akan air tawar bagi manusia pun besar sekali.. pengambil keputusan sering
melihat dalam lingkungan seperti ini suatu hal yang mubazir membiarkan air
tawar masuk ke laut, sehingga tidak heran bila berusaha untuk memanfaatkan air
tawar ini untuk keperluan di daerah darat.
ü Eksploitasi
Hutan
Eksploitasi hutan
mangrove secara besar- besaran dilakukan untuk keperluan kayu, tatal dan bubur
kayu. Biasanya eksplotasi seperti itu dilakukan dengan tebang habis. Di daerah
tebang habis permudaan alam umumnya tidak berjalan dengan baik sehingga
mengakibatkan penurunan nilai hutan karena pohon- pohon untuk panen berikutnya
berupa pohon- pohon dengan kualitas rendah. Kegiatan eksploitasi perlu
dilakukan secara hati- hati guna memperkecil kerusakan yang mungkin terjadi,
khususnya untuk menjamin kelangsungan mata rantai ekologi adalahekosistem
mangrove sehingga fungsinya sebagai sumber keanekaragaman hayati dan
stabilisasi lingkungan dapat dipertahankan.
Dalam melaksanakan
eksploitasi hutan secara besar- besaran dilakukan dengan menggunakan alat
transportasi dan alat tebang yang modern. Sehingga membutuhkan fasilitas dan
infrastruktur sebagai pendukungnya. Pengadaan fasilitas dan akses ke lokasitersebut
juga meninggalkan kerusakan tersendiri terhadap hutan mangrove. Masalah lain
yang sering timbul adalah sisa- sisa hasil tebangan tidak dapat segera terdaur
ulang dengan proses penguraian. Karena banyaknya sisa penebangan yang menumpuk
sehingga proses penguraian berjalan dengan lambat. Sisa penebangan yang besar-
besar dengan adanya arus pasang surut juga akan terbawa kemana-mana dan dapat
menimbulkan masalah baru.
ü Konversi
Lahan
Hutan rawa dalam
lingkungan yang asin dan anaerob di daerah pesisir selalu dianggap daerah yang
marginal atau sama sekali tidak cocok untuk pertanian dan akuakultur. Namun
karena kebutuhan lahan pertanian dan perikanan yang semakin meningkat maka
hutan mangrove dianggap sebagai lahan alternative.
Reklamasi seperti itu
telah memusnahkan ekosistem mangrove dan juga mengakibatkan efek- efek yang
negative terhadap perikanan di perairan pantai sekitarnya. Selain itu kehadiran
saluran- saluran drainase mengubah system hidrologi air tawar di daerah
mangrove yang masi utuh yang terletak kea rah laut dan hal ini mengakibatkan
dampak negatif.
Hutan mangrove di Pulau
Jawa, pada umumnya sejak tahun 1950 sebagian besar sudah rusak disebabkan
pencurian kayu dan dijadikan pertambakan. Tambak dalam skala kecil tidak
terlalu banyak mempengaruhi ekosistem mangrove dan ekosistem di sekitarnya,
tetapi lain halnya dengan tambak dalam skala besar. Konversi mangrove yang luas
menjadi tambak dapat mengakibatkan penurunan produksi perikanan di perairan
sekitarnya.
Penggunaan lahan pasang
surut untuk pertambakkan terjadi di hamper seluruh Indonesia, namun sekitar 94
% dari 225.000 ha areal pertambakan ada di Propinsi Aceh, Jawa Barat, jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Penyebarannya 52% terdapat di Jawa,
30 % di Sulawesi, 15 % di Sumatra, 1% di Kalimantan dan 0,1%di Maluku dan Irian
Jaya. Dengan data luasan yang ada berarti hilangnya areal mangrove yang
disebabkan pembukaan tambk sebesar 22%.
ü Tumpahan
Minyak
Tumpahan minyak bumi
dan hasil- hasil olahannya dengan kapal laut semakin meningkat. Kebocoran,
tumpahan dan pembuangan bahan tersebut ke laut sudah sering terjadi. Di
berbagai tempat, jalur- jalur angkutan ini berbatasan dengan kawasan mangrove
(misalnya selat Malaka) dan kebocoran setra pembuangan minyak dengan sengaja
telah menunjukkan dampak negative yang nyata terhadap mangrove.
Efek kehadiran minyak
di mangrove dapat dibedakan dalam dua kategori. Kategori pertama adalah efek
laut yang akut, segera terlihat dan berkaitan dengan pelaburan oleh minyak pada
permukaan tumbuhan ( pepagan, akar tunjang, akar napas ) yang mempunyai fungsi
dalam pertukaran udara. Dalam kondisi pelaburan oleh minyak yang sangat kuat,
tumbuhan mangrove dapat mati dalam waktu 72 jam. Pengguguran daun dan kematian
pohon- pohon mangrove di tempat –tempat yang paling berpengaruh terjadi 4- 5
minggu. Kategori kedua berkaitan dengan peracunan kronik dalam jangka panjang
tumbuhan mangrove dan fauna yang bersangkutan oleh komponen racun yang
terkandung dalam minyak.
ü Pembuangan
Limbah
Kegiatan pertanian,
agro- industri, industry kimia dan rumah tangga menghasilkan limbah dalam
jumlah yang beraneka dan kemudian dibuang ke sungai atau pantai. Limbah cair
terlarut atau membentuk suspensi dalam air. Sebagian limbah cair ini berupa
bahan anorganik yang juga terdapat di alam, tetapi kehadiran dalam jumlah
berlebihan dalam lingkungan akuatik menyebabkan bahan itu tidak semuanya dapat
didaur ulang secara alami.
Dalam banyak kasus,
pestisida dan antibiotic juga kerap kali digunakan, bahkan untuk pengolahan
tambak tradisional.
domestik dari masyrakat sekitar pesisir Kelapa Lima Kota Kupang- NTT
ü Kebakaran
Hutan
Kebakaran hutan
mangrove yang pernah terjadi di lahan Pesisir Timur Sembilang pada tahun 1980 –
1990an berhubungan dengan pembukaan lahan yang luas ( untuk perkebunan dan
transmigrasi) dan oleh penduduk setempat. Sedangkan kebakaran yang terjadi pada
tahun 1997 disebabkan oleh kegiatan penebangan liar, nelayan dan pengembangan
kawasan transmigrasi ( Dennis et al, 2000).
2.
Kerusakan
Biologi
Kerusakan yang ditimbulkan karena factor
biologi adalah serangan hama. Hama pada tanaman mangrove yang ditemukan di
beberapa tempat secara singkat dapay dijelaskan sebagai berikut :
ü Ulat ( Lepidoptera )
a. Ulat
kantong Acanthopsyche sp. (
Lepidoptera, psychidae) menyerang tanaman Bruguierai
spp ( tancang) di Cilacap, Rhizophora
spp di Purwakarta dan Rhizophora
mucronata di Pemalang. Bagian tanaman yang diserang ulat kantong ini adalah
bagian daunnya. Daging daun merupakan bagian yang dimakan, urat- urat dan
tulang daun tetap utuh. Apabila sebagian besar daging daun habis dimakan, daun
akan kering. Tanaman muda yang sebagian besar daun- daun dan kuncup ujung
diserang ulat berakibat kematiannya.
b. Ulat
bulu (Lepidoptera) menyerang tanaman Rhizophora
spp di Pemalang, Brebes, Purwakarta. hama ini hamper tiap tahun menyerang
tanaman bakau muda yaitu ulat bulu dan sebangsa ulat kantong. Ulat memakan daun
sejak menetas sampai menjelang kepompong. Tanaman bakau yang daunnya habis
dimakan ulat pada lahan kondisi mongering umumnya mati. Meningkatnya populasi
ulat diperkirakan karena langka predator. Usaha penanggulangan pada daun bakau
yang diserang dengan menggunakan tangan dan dikeprak, namun karena populasinya
tinggi dicoba dengan insektisida yang sangat terbatas dan diatur pelaksanaannya
disesuaikan dengan tata waktu kegiatan empang parit.
c. Ulat
pucuk tunas Capua endoeypa (
Lepidoptera) menyerang tanaman Rhizopara
mucronata di Bali. Ulat yang merupakan larva didalam tunas bibit dan
memakan tunas tersebut sebelum daun terbuka. Meskipun bibit tidak akan mati,
tetapi akan terhenti atau menjadi lambat pertumbuhan sehingga akan menurun
kualitasnya. Adanya serangan ini ditandai oleh adanya telur maupun lubang-
lubang kecil pada pucuk tunas bibit. Pengendaliannya dengan cara membuka tunas
yang ditandai adanya lubang- lubang kecil, kemudian ulat diambil dan dibunuh.
d. Ulat
daun Dasyehira sp,memakan daun semai Avicenmia marma di Bali. Ulat dapat
diatasi dengan memasang jaring plastik diatas bedeng, setelah jaring dibuka,
sebaiknya segera diperiksa dan bila dijumpai segera dibunuh. Bila terjadi
kerusakan serius bisa disemprot dengan insektisida atau dipindahkan ke bedeng
pasang surut.
ü Kutu
sisik chionapsis sp ( hemiptera,
diaspididae)
Hama ini dilaporkan
menyerang tanaman reboisasi dari jenis Rhizhopora
di Bali tahun 1995 dan kutu sisik berbentuk bulat telur ujungnya membesar yang
dilindungi oleh perisai yang lunak. Serangan kutu sisik ini akan menyebabkan
daun menguning dan akhirnya kering.
Cara mengendalikan kutu sisik dari hasil penelitian dengan menggunakan fluorbac
FC dengan bahan aktif bacilius turingiensisi
dan asodrin 15 wsc, rata- rata serangan hama menurun bahkan sebagian
pohon tampak pulih dan berangsur- angsur sehat.
ü Belalang
Belalang sering
menyerang tanaman mangrove dengan memakan daunnya terutama yang masih muda.
Penanganannya belalang diambil atau bila jumlahnya banyak dengan menggunakan insektisida. Namun
penggunaan insektisida tidak dianjurkan.
ü Laba-
laba
Laba-laba hidup/
bersarang pada tanaman bakau yang kecil dan besar, bambu pancang penguat
tanggul, pemakan diantara rekahan sawah dan gulma serta gubug- gubug pantai.
Hama laba- laba menyerang tanaman bakau pada bulan kering, baik yang muda
maupun tua. Pada tanaman muda laba-laba dapat mematikan tanaman karena tajuk
tanaman seluruhnya dibalut rapat oleh jaring laba-laba. Tajuk yang terbungkus
dalam waktu lama akan menyebabkan tanaman bakau kering dan mati. Serangan akan
lebih hebat jika lingkungan terbuka tanpa tanaman lain.
Usaha penanggulangan
dengan cara membuikan tempat pemijahan laba- laba berupa vegetasi pada galengan
empang parit, bamboo perangkap sekitar empang parit diikuti cara mekanis.
ü Ketam
Ketam (Sesarma spp) menyerang buah / benih Brugmera gymnorrhriza dan Rhizophora spp di Cilacap. Hama ini
menyerang pada benih bakau yang masi segar karena mengandung protein
karbohidrat ( zat gula). Untuk mengurangi yaitu dengan menurunkan kadar gula
benih disimpan selama 1 minggu atau membuat pagar kecil sekitar benih dengan
daun paku- pakuan atau menggunakan bumbung bambu.
ü Mamalia
Mamalia termasuk hama yang dapat
merusak tanaman mangrove diantaranya kera, kerbau, sapi, dan kambing. Binatang
ini akan memakan daun yang masih muda hingga habis dan akhirnya tumbuhan
mangrove akan mati. Untuk menanggulangi hewan tersebut harus dihalau dan jangan
dilepas untuk merumput di dekat tanaman mangrove yang baru tanam.
Arifin, Bustanul. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Alam Indonesia.
Erlangga : Jakarta.
Fauzi,
Akhmad. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka
Utama
: Jakarta.
Keraf, Sony. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Penerbit Buku Kompas : Jakarta.
Saparinto,
Cahyo. 2007. Pendayagunaan Ekosistem
Mangrove. Dahara Prize : Semarang.